Kerajaan Gowa dan Tallo



Awal mula kerajaan gowa dan tallo
Gowa dan Tallo pra-Islam merupakan kerajaan kembar milik dua bersaudara. Berawal di pertengahan abad ke-16, pada masa pemerintahan Gowa IV Tonatangka Lopi, ia membagi wilayah Kerajaan menjadi dua bagian untuk dua putranya, Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero. Hal ini dikarenakan kedua putranya sama-sama ingin berkuasa.

Batara Gowa melanjutkan kekuasaan sang ayah yang meninggal dunia dengan memimpin Kerajaan Gowa sebagai Raja Gowa VII. Sedangkan adiknya, Karaeng Loe ri Sero, mendirikan kerajaan baru bernama Tallo.

Dalam perjalanannya, dua kerajaan bersaudara ini dilanda peperangan bertahun-tahun. Hingga kemudian pada masa Gowa dipimpin Raja Gowa X, Kerajaan Tallo mengalami kekalahan. Kedua kerajaan kembar itu pun menjadi satu kerajaan dengan kesepakatan “Rua Karaeng
se’re ata” (dua raja, seorang hamba).

Sejak keduanya menyepakati perjanjian maka siapa pun yang menjabat sebagai Raja Tallo, menjabat sebagai mangkubumi Kerajaan Gowa. Para sejarawan kemudian menamakan kedua kerajaan Gowa dan Tallo dengan Kerajaan Makassar.
LETAK KERAJAAN GOWA-TALLO
Kerajaan Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di daerah Sulawesi Selatan. Makassar sebenarnya adalah ibukota Gowa yang dulu disebut sebagai Ujungpandang. Secara geografis Sulawesi Selatan memiliki posisi yang penting, karena dekat dengan jalur pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan daerah Makassar menjadi pusat persinggahan para pedagang, baik yang berasal dari Indonesia bagian timur maupun para pedagang yang berasal dari daerah Indonesia bagian barat. Dengan letak seperti ini mengakibatkan Kerajaan Makassar berkembang menjadi kerajaan besar dan   berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara dan juga menjadi kerajaan maritim pada masa raja alaudin.
Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 menyebutkan, Gowa memiliki sebuah sistem wewenang ganda yang timbul akibat aliansi politik antara Kesultanan Gowa dan Tallo. Para sultan berasal dari garis keturunan Gowa, sedangkan perdana menterinya berasal dari garis Tallo. Sistem ketatanegaraan dibentuk sedemikian rupa sehingga tidak menghilangkan sama sekali kekuasaan Raja Tallo.
KONDISI EKONOMI KERAJAAN GOWA TALLO
Kerajaan Makasar merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor :
a.    Letak yang strategis,
b.    Memiliki pelabuhan yang baik
c.    Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang-pedagang yang pindah ke Indonesia Timur.

Sebagai pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan internasional dan banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk berdagang di Makasar.

Sebagai pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan internasional dan banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk berdagang di Makasar.

Pelayaran dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum niaga yang disebut dengan ADE’ ALOPING LOPING BICARANNA PABBALUE, sehingga dengan adanya hukum niaga tersebut, maka perdagangan di Makasar menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang pesat.

Selain perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan pertanian karena Makasar juga
mempunyai daerah-daerah dengan tanah yang subur.
KONDISI SOSIAL BUDAYA KERAJAAN GOWA TALLO
Sebagai negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya.  Walaupun masyarakat Makasar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut PANGADAKKANG. Dan masyarakat Makasar sangat percaya terhadap norma-norma tersebut.Di samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.

Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo.Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Makasar dan terkenal sampai mancanegara.

KONDISI POLITIK KERAJAAN GOWA TALLO
Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Robandang/Dato’ Ri Bandang dari Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di Sulawesi Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam. Raja Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah Sultan Alaudin. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Muhammad Said (1639 – 1653).

Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Ia berhasil menguasai Ruwu, Wajo, Soppeng, dan Bone.Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat. Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.

Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar mengadakan persetujuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar
.
Peninggalan dari kerajaan gowa dan tallo
1.     Batu Pelantikan Raja (Batu Pallantikang) terletak di sebelah tenggara kompleks makam Tamalate. Dahulu, setiap penguasa baru Gowa-Tallo di sumpah di atas batu ini
2.     Kompleks Makam Katangka kompleks ini terletak di sebelah utara bukit Tamalate, merupakan area pemakaman raja-raja Gowa
3.     Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami beberapa kali pemugaran.
4.     Makam Syekh Yusuf kompleks makam ini terletak pada dataran rendah Lakiung di sebelah barat Mésjid Katangka
5.     Makam Raja-raja Tallo di Ujung Tanah pada kompleks ini bentuk makam dominan berciri abad XII Masehi.
6.     Benteng Somba Opu merupakan benteng induk yang berfungsi sebagai pusat pertahanan utama dan pusat pemerintahan kerajaan Gowa-Tallo. Dibangun atas perintah Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karaeng Mangnguntungi Tumaparisi Kallonna.
7.     Benteng Ujungpandang (Ford Ratterdam) benteng ini juga dirintis oleh Raja Gowa IX sebagai benteng pertahanan pendamping kerajaan Gowa.
Islamisasi Kerajaan Gowa
Penerimaan Islam pada beberapa tempat di Nusantara memperlihatkan dua pola yang berbeda. Pertama, Islam diterima oleh masyarakat bawah, kemudiaan berkembang dan diterima oleh masyarakat lapisan atas disebut bottom up. Kedua, Islam diterima langsung oleh elite penguasa kerajaan kemudian disosialisasikan dan berkembang pada lapisan masyarakat bawah disebut top down. Penerimaan Islam di Gowa menurut penulis sejarah Islam, memperlihatkan pola yang kedua. 
Kerajaan yang mula-mula memeluk Islam dengan resmi di Sulawesi Selatan adalah kerajaan kembar Gowa-Tallo. Tanggal peresmian
Islam itu menurut lontara Gowa dan Tallo adalah malam Jum’at, 22 September 1605, atau 9 Jumadil Awal 1014 H. Dinyatakan bahwa Mangkubumi kerajaan Gowa / Raja Tallo I Mallingkaeng Daeng Manyonri mula-mula menerima dan mengucapkan kalimat Syahadat (Ia di beri gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam) dan sesudah itu barulah raja Gowa ke-14 Mangenrangi Daeng Manrabia (Sultan Alauddin). Dua tahun kemudian seluruh rakyat Gowa-Tallo memeluk agama Islam berdasar atas prinsip cocius region eius religio, dengan diadakannya shalat Jumat pertama di masjid Tallo tanggal 9 November 1607 / 19 Rajab 1016 H. 
Adapun yang mengislamkan kedua raja tersebut ialah Datu ri Bandang (Abdul Makmur Chatib Tunggal) seorang ulama datang dari Minangkabau (Sumatera) ke Sulawesi Selatan bersama dua orang temannya yakni Datu Patimang (Chatib Sulaeman) yang mengislamkan pula Raja Luwu La Pataware Daeng Parabung dan Datu ri Tiro (Chatib Bungsu) yang menyebar Agama Islam di Tiro dan sekitarnya. 
Sekitar enam tahun kemudian, kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan pun menerima Islam. Penyebarannya di dukung oleh Kerajaan Gowa sebagai pusat kekuatan pengislaman. Kerajaan bugis seperti Bone, Soppeng, Wajo dan Sidenreng, berhubung karena menolak, akhirnya Raja Gowa melakukan perang, karena juga dianggap menentang kekuasaan Raja Gowa. Setelah takluk, penyebaran Islam dapat dilakukan dengan mudah di Kerajaan Bugis. 
Raja-raja yang pernah memimpin kerajaan gowa dan tallo
1. Karaeng Matoaya
Karaeng Matoaya merupakan raja Tallo yang merangkap sebagai mangkubumi Kerajaan Gowa, dan bergelar Sultan Abdullah dengan julukan Awalul Islam.
2. Sultan Alaudin
Sultan Alaudin merupakan raja Gowa yang memiliki nama asli Daeng Manrabia. Raja Gowa dan Tallo disebut Penguasa Dwitunggal. Mereka dengan gigih memimpin kerajaan.
3. Sultan Muhammad Said
Sultan Muhammad Said merupakan pengganti Sultan Alaudin. Ia meneruskan perjuangan ayahnya dan terus berjuang melawan Belanda. Ia wafat pada tahun 1653.
4. Sultan Hasanuddin 
Sultan Hasanuddin adalah putra Sultan Muhammad Said yang memerintah dari tahun 1653 sampai 1669.
5. I Mappasomba
I Mappasomba adalah pengganti Sultan Hasanuddin. Ketika menjadi raja, ia masih berusia 13 tahun. Ia bergelar Sultan Amir Hamzah. Beliau wafat pada tanggal 7 Mei 1674. Penggantinya adalah Sultan Ali. Namun, kerajaan pada masa ini sudah tidak berkembang lagi.

Comments

Popular posts from this blog

TEKNIK PENGOLAHAN BAHAN PANGAN

Materi Prakarya Evaluasi Hasil Usaha

Perlawanan Aceh terhadap VOC

Manusia Purba Homo Rhodesiensis atau Homo Africanus

Cara Membuat Kotak Pensil dari Tempurung Kelapa